Sapu Lidi
Karya Sari Rahayu
Jika kalian datang ke sebuah kampung yang dikenal dengan nama Randu
Kurung, maka kalian akan menemukan sebuah gubuk bambu yang terlihat kumis
(kumuh dan miskin). Pemilik gubuk ini tiada lain adalah Pak Rudi. Pak Rudi
tinggal bersama istri dan ketiga anaknya. Yang sulung bernama Doni sedang
mengenyam pendidikan di tingkat SMA. Sedangkan Nina anak ke-2 masih kelas 6 SD
dan si bungsu bernama Nisa masih balita. Untuk menghidupi keluarganya Pak Rudi
bekerja sebagai penjual sapu lidi keliling.
Pekerjaan Pak Rudi ini bukan tidak beresiko. Setiap kali memanjat
pohon kelapa untuk mengambil daunnya yang kering kadang terpeleset dan jatuh.
Namun tidak ada pilihan lagi, demi untuk memenuhi kebutuhan dia lakukan
meskipun penghasilannya tidak seberapa. Daun kelapa yang kering itu dia sulap
menjadi sapu lidi dibantu dengan anak sulungnya Doni. Kemudian mereka akan
menjualnya berkeliling kampung atau kalau belum laku pergi ke kampung sebelah.
Jika sapu lidinya terjual kadang dia mendapatkan uang sebesar Rp. 30.000,- atau
tidak sama sekali. Sedangkan kebutuhan keluarganya melebihi dari hasil
penjualan sapu lidi. Tetapi Pak Rudi tidak pernah menyerah atau mengeluh atas
apa yang dialaminya.
Pada suatu hari Pak Rudi sedang berkumpul dengan keluarganya untuk
makan malam. Setelah makan Doni bercerita tentang masalah bayaran untuk ujian
minggu depan.
“Pak apakah sudah ada uang untuk bayar ujian minggu depan?” Tanya Doni
dengan tatapan ragu.
“ Maaf nak, kebetulan belum ada uang untuk membayarnya, nak!” Jawab
Pak Rudi sambil menghela napas.
“ Bagaimana dong Pak? Kalau tidak membayarnya Doni tidak akan bisa
ikut ujian.”
“Hm, hmmm. Doakan saja agar Bapak bisa mendapatkannya, ya Nak!”
Pada siang harinya Pak Rudi sedang bekerja. Tiba-tiba Nina datang
meminta uang untuk membeli susu buat adiknya. Pak Rudi pun bingung karena tidak
mempunyai uang. Akhirnya Pak Rudi pergi ke warung Bu Titin untuk kasbon.
Setelah diberi susu Nisa pun terdiam dari tangisannya. Kemudian Bu Siti datang
pada pak Rudi melaporkan persediaan makanan yang sudah habis.
“Pa, makanan untuk sekarang sudah habis semuanya. Beras pun tak ada
apalagi lauk pauknya.” Keluh Bu Siti.
“Sapu lidi ini belum laku, bagaimana Bapak bisa punya uang?” Jawab Pak
Rudi.
“Lalu bagaimana dong Pak?”
“Pinjam lagi sama Bu Titin?”
“ Jangan ah Pak, malu. Bagaimana kalau ke Bu Salma atau ke Bu Ida?”
“Ya terserah ibu saja, yang penting anak-anak hari ini bisa makan.”
Bu Siti pun kasbon ke Bu Salma hanya untuk memenuhi kebutuhan beras.
Itu pun tanpa lauk pauk hanya ditemani dengan mie rebus saja. Kadang mereka
makan nasi hanya dengan garam saja. Namun Bu Salma tetap selalu bersyukur masih
ada orang yang mau memberi kasbon daripada mereka tidak makan hari itu. Pak
Rudi pun selalu bersyukur karena masih bisa makan dan diberi nikmat sehat.
Pada hari berikutnya Pak Rudi berkeliling ke kampung sebelah. Tak
disangka di perempatan jalan tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti didepannya.
Ada seorang ibu paruh baya keluar dari mobil. Dia memborong semua sapu lidi Pak
Rudi sebesar Rp. 300.000,- tanpa menanyakan harga satuannya.
“Ibu mau membeli semua sapu lidi saya sebesar Rp. 300.000,-? Padahal
harga satuannya kan…” Omongan Pak Rudi dipotong oleh wanita paru baya itu.
“Pokoknya saya memborong sapu lidi Bapa. Mau tidak?”
“Oh iya mau, mau.” Jawab Pak Rudi tergagap. Akhirnya doanya terjawab
juga. Dengan uang sebesar itu, dia bisa membayar uang ujian semesteran Doni dan
membayar utang pada Bu Titin dan Bu Salma. Semua keluarga bersyukur meskipun
uang tersebut tak seberapa. Namun dimata keluarga pak Rudi uang sebesar itu
bisa meringankan beban keluarga. (Penulis adalah siswa kelas IX B MTs. Al-Mu'min)







0 komentar:
Posting Komentar