Hikayat Patani
Hatta antara berapa tahun lamanya
baginda di atas takhta kerajaan itu, maka baginda pun berputera tiga orang, dan
yang tua laki-laki bernama Kerub Picai Paina dan yang tengah perempuan bernama
Tuanku Mahajai dan bungsu laki-laki bernama Mahacai Pailang.
Hatta
berapa lamanya maka Paya Tu Naqpa pun sakit merkah segala tubuhnya, dan
beberapa segala hora dan tabib mengobati tiada juga sembuh. Maka baginda pun
memberi titah kepada bendahara suruh memalu canang pada segala daerah negeri:
barang siapa bercakap mengobati baginda, jikalau sembuh, raja ambilkan menantu.
Arkian
maka baginda pun sangat kesakitan duduk tiada ikrar. Maka bendahara pun segera
bermohon keluar duduk di balairung menyuruhnya temenggung memalu canang, ikut
seperti titah baginda itu. Arkian maka temenggung pun segera bermohon keluar
menyuruhkan orangnya memalu canang. Hatta maka canang itu pun dipalu oranglah
pada segerap daerah negeri itu, tujuh hari lamanya, maka seorang pun tiada
bercakap.
Maka orang yang memalu canang itu
pun berjalan lalu di luar kampung orang Pasai yang duduk di biara Kampung Pasai
itu. Syahdan antara itu ada seorang Pasai bernama Syaikh Sa’id. Setelah
didengarnya oleh Syaikh Sa’id seru orang yang memalu canang itu, maka Syaikh
Sa’id pun keluar berdiri di pintu kampungnya. Maka orang yang memalu canang itu
pun lalulah hamper pintu Syaikh Sa’id itu.
Maka kata Syaikh Sa’id, “Apa kerja
tuan-tuan memalu canang ini?”
Maka kata penghulu canang itu,
“Tiadakah tuan hamba tahu akan raja di dalam negeri ini sakit. Merkah segala
tubuhnya? Berapa segala hora dan tabib mengobati dia tiada juga mau sembuh.
Jangankan sembuh, makin sangat pula sakitnya. Dari karena itulah maka titah
raja menyuruh memalu canang ini, maka barang siapa bercakap mengobati raja itu,
jikalau sembuh penyakitnya, diambil raja akan menantu.”
Maka kata Syaikh Sa’id, “Kembalilah
sembahkan kepada raja, yang menjadi menantu raja itu hamba tiada mau, dan
jikalau mau raja masuk agama Islam, hambalah cakap mengobat penyakit raja itu.”
Setelah didengar oleh penghulu
canang itu, maka ia pun segera kembali bersembahkan kepada tumenggung seperti
kata Syaikh Sa’id itu. Arkian maka tumenggung pun dengan segeranya pergi
maklumkan kepada bendahara seperti kata penghulu canang itu. Setelah bendahara
mendengar kata tumenggung itu, maka bendahara pun masuk menghadap baginda
menyembahkan seperti kata temenggung itu.Maka titah baginda, “Jikalau demikian,
segeralah bendahara suruh panggil orang Pasai itu.
Arkian maka Syaikh Sa’id dipanggil
oranglah. Hatta maka Syaikh Sa’id pun datanglah menghadap raja.
Maka titah raja pada Syaikh Sa’id,
“Sungguhkah tuanhamba bercakap megobati penyakit hamba ini?”
Maka sembah Syaikh Sa’id, “Jikalau
tuanku masuk agama Islam, hambalah mengobat penyakit Duli Syah ‘Alam itu.”
Maka titah raja, “Jikalau sembuh
penyakit hamba ini, barang kata tuanhamba itu hamba turutlah.”
Setelah sudah Syaikh Sa’id berjanji
dengan raja itu, maka Syaikh Sa’id pun duduklah mengobat raja itu. Ada tujuh
hari lamanya, maka raja pun dapatlah keluar dihadap oleh menteri hulubalang
sekalian. Arkian maka Syaikh Sa’id pun bermohonlah kepada baginda, lalu kembali
ke rumahnya. Antara beberapa hari lamanya maka penyakit raja itu pun sembuhlah.
Maka raja pun mungkirlah ia akan janjinya dengan Syaikh Sa’id itu.
Hatta ada dua tahun lamanya, maka
raja pun sakit pula, seperti dahulu itu juga penyakitnya. Maka Syaikh Sa’id pun
disuruh panggil pula oleh raja. Telah Syaikh Sa’id dating, maka titah baginda,
“Tuan obatlah penyakit hamba ini. Jikalau sembuh penyakit hamba sekali inibahwa
barang kata tuanhamba itu tiadalah hamba lalui lagi.”
Maka kata Syaikh Sa’id,
“Sungguh-sungguh janji Tuanku dengan patik, maka patik mau mengobati Duli
Tuanku. Jikalau tiada sungguh-sungguh seperti titah Duli Tuanku ini, tiadalah
patik mengobat dia.”
Setelah didengar raja sembah Syaikh
Sa’id itu demikian, maka raja pun berteguh-teguhan janjilah dengan Syaikh
Sa’id. Arkian maka Syaikh Sa’id pun duduklah mengobat raja itu. Ada lima hari
maka Syaikh Sa’id pun bermohonlah pada raja kembali ke rumahnya. Hatta antara
tengah bulan lamanya, maka penyakit raja itu pun sembuhlah. Syahdan raja pun
mungkir akan janjinya dengan Syaikh Sa’id itu.
Hatta antara setahun lamanya maka
raja itu pun akit pula, terlebih daripada sakit yang dahulu itu, dan duduk pun
tiada karar barang seketika. Maka Syaikh Sa’id pun disuruh panggil oleh raja
pula. Maka kata Syaikh Sa’id pada hamba raja itu, “Tuanhamba pergilah sembahkan
ke bawah Duli Raja, tiada hamba mau mengobati raja itu lagi, karena janji raja
dengan hamba tiada sungguh.”
Hatta maka hamba raja itu pun
kembalilah. Maka segala kata Syaikh Sa’id itu semuanya dipersembahkannya kepada
raja.
Maka titah raja kepada bentara,
Pergilah engkau panggil orang Pasai itu, engkau katakannya padanya jikalau
sembuh penyakit ku sekali ini, tiadalah kuubahkan janjiku dengan dia itu. Demi
berhala yang kusembah ini, jikalau aku mengubahkan janjiku ini, janganlah
sembuh penyakitku ini selama-lamanya.”
Arkian maka bentara pun pergilah
menjunjungkan segala titah raja itu kepada Syaikh Sa’id. Maka kata Syaikh
Sa’id, “Baiklah berhala tuan raja itulah akan saksinya hamba. Jikalau lain
kalanya tiadalah hamba mau mengobat raja itu.”
Hatta maka Syaikh Sa’id pun
pergilah menghadap raja. Setelah Syaikh Sa’id dating, maka titah raja, “Tuan
obatilah penyakit hamba sekali ini. Jikalau sembuh penyakit hambaini, barang
yang tuan kata itu bahwa sesungguhnya tiadalah hamba lalui lagi.”
Maka kata Syaikh Sa’id, “Baiklah
biarlah patik obat penyakit Duli Tuanku. Jikalau sudah sembuh Duli Tuanku tiada
masuk agama Islam sekali ini juga. Jika dating penyakit tuanku kemudian
harinya, jika Duli Tuanku bunuh patik sekali pun, ridhalah patik, akan mengobat
penyakit tuanku itu, patik mohonlah!”
Maka titah raja, “Baiklah mana kata
tuan itu, hamba turutlah.”
Setelah itu maka raja pun diobat
pula oleh Syaikh Sa’id itu. Hatta antara tiga hari lamanya maka Syaikh Sa’id
pun memohon pada raja. Kembali ke rumahnya. Hatta antara dua puluh hari lamanya
maka penyakit raja itu pun sembuhlah.
Sebermula ada sebulan selangnya,
maka pada suatu hari raja bersemayam di balairung diadap oleh segala menteri
hulubalang dan rakyat sekalian. Maka titah Baginda, “Hai segala menteri
hulubalangku, apa bicara kamu sekalian, karena aku hendak mengikut agama
Islam?”
Maka sembah sekalian mereka itu,
“Daulat Tuanku, mana titah patik sekalian junjung, karena patik sekalian ini
hamba pada kebawah Duli Yang Mahamulia.”
Hatta setelah raja mendengar sembah
segala menteri hulubalang itu, maka baginda pun terlalulah sukacita, lalu
berangkat masuk ke istana.
Setelah datanglah keesokan harinya,
maka baginda pun memerintahkan bentara kanan pergi memanggil Syaikh Sa’id,
serta bertitah pada bendahara suruh menghimpunkan segala menteri hulubalang dan
rakyat sekalian. Maka baginda pun semayam di balairung diadap oleh rakyat
sekalian. Pada tatkala itu Syaikh Sa’id pun datanglah menghadap raja diiringkan
oleh bentara. Setelah Syaikh Sa’id itu dating maka raja pun sangat memuliakan
Syaikh Sa’id itu. Maka titah Baginda, “ Ada pun hamba memanggil tuanhamba ini,
karena janji saya dengan tuanhamba ini hendak masuk agama Islam itulah.
Setelah Syaikh Sa’id mendengar
titah raja demikian itu, maka Syaikh Sa’id pun itu mengucup tangan raja itu,
lalu dijunjungnya. Sudah itu maka diajarkanlah kalimatsyahadat oleh Syaikh,
demikian bunyinya: “Asyhadu an la Ilaaha illallaahu wa asyhaduanna Muhammadan
rasulullaah.”
Maka raja pun kararlah membawa
agama Islam. Setelah sudah raja mengucap
kalimat syahadat itu, maka Syaikh Sa’id pun mengajarkan kalimat syahadat kepada
segala menteri hulubalang dan rakyat yang ada hadir itu pula.
Telah selesailah Yaikh Sa’id dari
pada mengajarkan kalimat syahadat pada segala mereka itu, maka sembah Syaikh
Sa’id, “Ya Tuanku Syah ‘Alam, baiklah tuanku bernama mengikuti nama Islam,
karena Tuanku sudah membawa agama Islam supaya bertambah berkat Duli Tuanku
beroleh syafa’at dari Muhammad Rasul Allah sallallaahu “alaihi wa sallama di
akhirat jemah.”
Maka titah baginda, “JIkalau
demikian, tuanhambalah memberi nama akan hamba.”
Arkian maka nama raja itu pun
diberi nama oleh Syaikh Sa’id, Sultan Isma’il Syah Zilullah Fi l’Alam. Setelah
sudah Syaikh Sa’id memberi nama akan raja itu, maka titah baginda, “Anak hamba
ketiga itu baiklah tuanhamba beri nama sekali, supaya sempurnalah hamba membawa
agama Islam.”
Maka kembali Syaikh Sa’id, “ Barang
bertambah kiranya daulat sa’adat Duli Yang Mahamulia, hingga dating kepada
kesudahan zaman paduka anakanda dan cucunda Duli Yang Mahamulia karar sentosa
di atas takhta kerajaan di negeri PataninDarussalam.”
Arkian maka Syaikh Sa’id pun
memberi nama akan paduka anakanda baginda yang tua itu Sultan Mudhaffar Syah
dan yang tengah perempuan itu dinamainya Sitti’A’isyah dan yang bungsu
laki-laki dinamainya Sultan Manzur Syah. Setelah sudah Syaikh Sa’id memberi
nama akan anakanda baginda itu, maka baginda pun mengaruniai akan Syaikh Sa’id
itu terlalu banyak dari pada emas perak dan kain yang indah-indah. Hatta maka
Syaikh Sa’id pun bermohonlah pada raja, lalu kembali ke rumahnya di biara
Kampung Pasai.
Syahdan pada zaman itu segala
rakyat yang di dalam negeri juga yang membawa agama Islam, dan segala rakyat
yang di luar daerah negeri seorang pun tiada masuk Islam. Adapun raja itu
sungguhpun ia membawa agama Islam, yang menyembah berhala dan makan babi itu
juga yang ditinggalkan. Lain dara pada itu segala pekerjaan kafir itu suatu pun
tiada diubahnya
Sumber: Hikayat Seribu Satu Malam