Dalam Sakitmu
Oleh
Yeti Mulyati
“Sholat
pak!” Bisikku lirih.
“Ntar…
dingin wudhunya,” Lirihnya sambil menyelonjorkan kedua kakinya.
“Biar
kumasakkan air hangat ya Pak?”
“ntar
aja ndo, toh waktu ashar masih panjang,” aku kehabisan kata-kata. Ku hela
napasku panjang-panjang. Ku tunggu Bapak untuk sholat. waktu maghrib pun tiba.
Tapi Bapak tidak bergeming dari tempat duduknya. Malah ku lihat dia tertawa
terbahak-bahak melihat siaran televisi. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
Masih
kuingat dulu ketika aku masih kecil Bapak selalu mendisiplinkan anak-anaknya
untuk sholat. Bahkan aku pernah melihat kakakku yang paling besar, kakinya
dipukul dengan tiga helai sapu lidi. Akibatnya terlihat guratan-guratan merah
di kakinya. Sejak saat itu aku tidak pernah meninggalkan sholat karena takut.
Namun kini aku merasa sholat itu suatu kebutuhan. Mungkin ini hasil dari
kedisiplinan yang bapak tanamkan. Dari rasa takut timbul kepatuhan kemudian
menjadi kebiasaan dan membekas sampai saat ini menjadi suatu kebutuhan. Jika aku
meninggalkan sholat rasa sesal dalam hati, merasa menjadi manusia yang paling
durja.
Kini bapakku sudah menua. Kadang
berperilaku seperti anak kecil. Sejak pensiun dia sering sakit-sakitan. Bahkan
setelah ibu meninggal dia sakit parah, malah sering bolak-balik ke rumah sakit. Dalam sakitnya dia
pernah berkata akan rajin ibadah kalau Tuhan mengangkat penyakitnya. Akan
selalu ke masjid jika tubuhnya sehat.
Dan akhirnya Tuhan mengabulkan doanya. Tuhan telah mendengar pintanya. Ketika
awal sembuh dia rajin ke masjid. Saat tubuhnya pulih dia perbanyak tadarus dan
sholat-sholat sunat. Namun itu hanya bertahan beberapa bulan saja. Aku sering
mengingatkannya secara halus. Atau sengaja ku putar ceramah subuh di radio. Aku
tidak berani secara terang-terangan menasehatinya. Aku takut hati bapakku
terluka. Rasa seganku padanya membuat keberanianku ciut. Kadang aku sering
menggugat dalam hatiku. Mana ajaran-ajaran Bapak dulu? Nasehat yang sering
Bapak dengung-dengungkan pada anak-anakmu.
“Kak nangis ya?” Aku terhenyak dari
lamunanku.
“Kapan kamu dating?”
“Dari tadi.”
“Mana pesanan Bapak?”
“Tuh di tas.” Sambil memonyongkan
mulutnya kea rah tas.”Bagaimana kemajuan bapak, Kak?”
“Ya begitulah, kadang sering sasar”
“Sholatnya?” Aku hanya bisa geleng
kepala.
Sekarang Bapak dirawat lagi di rumah
sakit. Penyakit lamanya kambuh. Padahal sudah hampir tiga tahun belakangan ini
Bapak sehat. Dia tertidur pulas setelah selama tiga hari gelisah. Mungkin
pengaruh obat. Kutatap wajahnya yang dipenuhi keriput. Ketegasannya dulu tak
Nampak. Kini kau seperti anak kecil yang sudah kecapean bermain. Tak terasa ada
yang dingin dipipiku. Aku tak tahan melihatmu dalam ketidakberdayaan. Aku takut
Bapak meninggal dalam keadaan su’ulkhotimah.
Ya Alloh kembalikan Bapakku yang dulu. Yang taat beribadah pada-Mu. Dia telah
berhasil mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang sukses. Dia telah
membentuk karakter-karakter yang islami.
Selalu kuingat ajaran Bapak. Saat
itu aku kelas tiga MI. “Sholat ibarat angka satu dan ibadah-ibadah lainnya
seperti angka nol. Jika angka satu disandingkan dengan angka nol akan memiliki
nilai. Seperti kamu sholat berarti dapat angka satu. Kemudian setelah sholat,
bantu ibu cuci piring dapat angka nol. Jika disandingkan sholat dan cuci
piring, pagi itu kamu sudah dapat nilai sepuluh. Kemudian kamu buatkan kopi
untuk bapak dapat lagi angka nol. Berarti kamu sudah mengumpulkan angka satu
dan angka nol sebanyak dua. Berarti nilaimu seratus. Dan begitu seterusnya kamu
lakukan amalan lain nilaimu akan semakin banyak”. Bapak tersenyum lebar sambil
mencubit hidungku.
“Tapi
Pak, kalau aku cuman cuci piring dan buatkan kopi untuk Bapak, nilainya
berapa?” Tanyaku sambil menatap wajah Bapak dengan antusias.
“Kamu
tidak Sholat?” Tanya bapak menyelidik. Aku hanya menggelengkan kepala sambil
tersenyum. “Ya kamu rugi. Kamu dapat nilai nol dan nol jika disandingkan tetap
nol”. Aku hanya bisa mengerutkan kening.
“Jadi
sholat itu sangat penting ya Pak?” gumamku.
“Dalam
keadaan apapun kita harus sholat. Jika sedang sakit bisa sholat sambil duduk
atau berbaring atau dengan isyarat gerakan mata sesuai dengan kemampuan kita
saat itu”.
“Ranti!” Aku terhenyak dari
lamunanku. Nampak Bapak melambaikan tangan padaku.
“Iya Pak?” langsung aku
menghampirinya.
“Bapak belum sholat ya. Bimbing
Bapak sholat”. Alhamdulillah akhirnya doaku terkabul juga. Mudah-mudahan Bapak
selalu istiqomah.
Selang
beberapa hari Bapak berangsur sehat dan dokter memperbolehkan pulang. Sudah
hampir empat bulan kesehatan Bapak pulih seutuhnya. Dia tidak pernah meninggalkan
sholat, bahkan selalu berjamaah di mesjid. Namun rasa khawatir menggeliat
dihatiku. Aku takut setelah diberi kesehatan Bapak lupa lagi sholat. Aku tepis
pikiran itu jauh-jauh. Yang terpenting sekarang Bapak sudah sehat dan selalu
sholat berjamaah.
Saat
itu bulan Ramadhan. Bapak tidak pernah meninggalkan shaum bahkan sholat tarawih
pun tak pernah absen. Kadang aku juga khawatir kesehatan Bapak kambuh. Bahkan
aku pernah menawarkan bayar pidyah untuk mengganti puasa. Namun Bapak menolak.
Dia ingin menggunakan hari tuanya untuk beribadah. Mendengar hal itu hatiku
terasa sejuk.
Waktu
sahur pun tiba. Seperti biasa aku menyiapkan makanan untuk sahur. Anakku dan
suamiku sudah berada di ruang makan. Bapak belum aku bangunkan. Biasanya dia
selalu mengakhirkan sahur. Katanya itu termasuk sunat.
“Bapak
belum bangun?” Kata suamiku, “Udah jam setengah empat.”
“Biasanya
Bapak bangun sendiri. Tapi biar aku bangunkan saja.” Selaku. Ketika sampai
dikamarnya aku panggil Bapak dengan lirih. Namun dia tidak menyahut. Aku
hampiri dia. Kedua tangannya sedekap di atas dadanya. Matanya tertutup rapat.
Kemudian aku menggoyangkan tubuhnya pelan-pelan. “Pak waktunya sahur.” Namun
tiba-tiba tangannya terjatuh disampingnya, dan seluruh tubuhnya tergoyang
semua. Aku kaget. Kupegang tangan dan kakinya. Dingin. “Ya Alloh apakah ini
sudah waktunya”, pikirku dalam hati. Kupanggil suamiku, “Ayah tolong panggil
Ustad Ilyas,” Suaraku terputus-putus dengan isak tangis. Entah tangis bahagia
atau tangis sedih. Yang jelas bapakku meninggal dalam keadaan husnul khotimah. Wallahu’alam Bisshowab.
(Cerita
ini didasarkan pada Hikayat Patani yang mengisahkan seorang raja yang sakit
parah. Tak seorangpun dapat
menyembuhkannya. Hingga suatu saat datanglah seorang Syekh yang dapat
menyembuhkan penyakit raja. Raja pun berjanji akan masuk Islam. Namun ternyata
raja ingkar janji. Kemudian raja pun sakit kembali).










